
Mamberamo,
sungai besar di Papua dan konon direncanakan sebagai salah satu kawasan
penggerak ekonomi di Indonesia Timur, ternyata banyak menyimpan misteri
dan permasalahan yang belum terjawab. Tiga bulan bekerja sebagai geolog
dalam rangka eksplorasi mineral cukup memberikan kesan tersendiri
tentang alam, masyarakat, dan problem di seputar kawasan tersebut.
Peta kasonaweja Sebagai salah satu sungai terbesar dan paling
terkenal di Papua, Mamberamo secara administratif melewati tiga kawasan
kecamatan, yakni Mamberamo Hulu, Tengah, dan Hilir. Di bagian hulunya
terdapat dua sungai utama yaitu S. Tariku (Rouffaer) dan S. Taritu
(Idenburg) yang bergabung menjadi Sungai Mamberamo dan kemudian secara
spektakuler mengalir ke utara memotong Pegunungan Foja, sepanjang lebih
dari 150 km hingga mencapai pantai utara Papua. Pada sisi bagian timur
ke arah hilir, terdapat danau yang sangat luas yaitu Danau Rombebai yang
berukuran sedikit lebih kecil dari Danau Paniai atau Danau Sentani yang
merupakan danau-danau besar di Papua.
Jika
dilihat dari udara, Sungai Mamberamo mudah dikenal karena ukurannya
yang lebih besar dibandingkan dengan sungai lain di sekitarnya dan
mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Terkadang di tengahnya terdapat
pulau-pulau kecil dan oxbow lake pada tepi-tepinya yang menunjukkan
sungai ini telah beberapa kali mengalami perpindahan alur. Karena
banyaknya endapan lumpur yang dibawa, air Mamberamo berwarna coklat,
bahkan di beberapa tempat berwarna keabu-abuan akibat pengaruh bebatuan
di sekitarnya yang dilalui sungai tersebut.
Arus airnya sendiri cukup tenang pada bagian tepinya, namun sangat
kuat di bagian tengahnya, bahkan di beberapa tempat tertentu terdapat
fenomena arus berputar yang sangat berbahaya. Menurut catatan, telah
terjadi beberapa kecelakaan yang merenggut nyawa manusia karena perahu
terjebak arus dan akhirnya tenggelam.
Secara geologis, Mamberamo dan kawasan sekitarnya memang cukup
menarik karena tersusun oleh endapan batuan sedimen yang tebalnya
mencapai ribuan meter serta terpotong-potong oleh struktur geologi yang
rumit. Juga karena masih dipengaruhi oleh tekanan tektonik aktif, di
beberapa tempat muncul fenomena alam berupa keluarnya semburan lumpur
dari dalam bumi (mudvocano). Fenomena ini mudah dikenali dari penampakan
di lapangan yang jika diamati dari udara bentuknya berupa kumpulan
lumpur dan pasir berwarna abu-abu berbentuk sirkuler dengan diameter
lebih dari 50 m yang muncul di tengah-tengah hutan lebat.
Legenda suku wanita dan buaya
Perjumpaan para pendatang dengan penduduk asli di seputar kawasan
Mamberamo biasanya berlangsung singkat dan tidak sengaja. Misalnya pada
saat bekerja di lapangan karena base camp eksplorasi mineral tambang PT
Iriana Mutiara Mining terletak di Desa Kasonaweja yang terletak di tepi
Sungai Mamberamo. Sikap para penduduk umumnya bersahabat. Mereka yang
tinggal di tepi-tepi sungai mampu berbahasa Indonesia dengan baik karena
lebih sering kontak dengan orang luar. Namun, yang tinggal di pedalaman
terpaksa menggunakan bahasa isyarat, sebab masih sulit berkomunikasi
dalam bahasa Indonesia.
Pengalaman
menarik banyak dijumpai di daerah pedalaman yang termasuk hulu dari
cabang-cabang Mamberamo. Saat kami datang dengan helikopter, reaksi suku
setempat bermacam-macam; ada yang lari ketakutan dan bersembunyi, ada
yang muncul kembali setelah merasa kami tidak berbahaya, ada juga yang
langsung menyongsong dengan rasa ingin tahu yang besar.
“Heriiii! Herriii!” demikian teriakan sebagian warga Kasonaweja yang
agak sulit mengucapkan huruf L, ketika mendengar bunyi helikopter di
kejauhan. Mereka pun berlarian menuju lapangan rumput untuk menonton
helikopter. Padahal, bagi para pekerja pendatang bunyi helikopter belum
terdengar karena masih jauh. Namun telinga warga setempat jauh lebih
peka dari pada pendatang.
Pada beberapa kesempatan pertama, perjumpaan dengan warga seringkali
agak menegangkan karena mereka masih curiga dengan kehadiran kami
sebagai pendatang. Namun akhirnya menjadi pengalaman yang menyenangkan
setelah terjadi komunikasi meskipun dengan bahasa isyarat. Bahkan mereka
membantu mengambilkan contoh-contoh batuan dan sedimen sungai. Garam
dan tembakau merupakan barang yang harus kami bawa sebagai alat pembuka
komunikasi. Kalau komunikasi terjalin semkain lancar, ubi dan pisang,
bahkan daging binatang buruan mereka diberikan kepada kami sebagai
balasan. Suku-suku yang pernah kami jumpai di sekitar S. Mamberamo
bermacam-macam. Yang tinggal di daerah hulu dan berpegunungan, kaum pria
memakai koteka sementara yang wanita mengenakan cawat. Sedangkan yang
tinggal di dataran yang lebih rendah umumnya tidak memakai koteka,
bahkan ada yang tidak berpakaian sama sekali serta hidup dalam
kelompok-kelompok kecil. Selain itu ada juga suku yang cukup dikenal
masyarakat di sekitar Mamberamo Tengah dan hidup secara nomaden atau
semi nomaden dan terkesan unik jika dibandingkan dengan suku lainnya. Di
antaranya adalah suku Baudi atau Bauzi. Suku inilah satu-satunya yang
membuat rakit untuk melayari cabang-cabang Mamberamo.
Dari
barang-barang yang dimiliki terlihat bahwa umumnya mereka sekali-kali
pernah kontak dengan orang luar. Menurut seorang tokoh masyarakat di
Kasonaweja konon kanibalisme masih berlaku pada masa sebelum misionaris
datang. Masa itu, suku yang kalah perang dimakan dagingnya oleh suku
yang menang. Ada juga cerita menarik mengenai adanya satu suku di daerah
Mamberamo yang anggotanya hanya wanita. Jika bertemu atau menangkap
pria, mereka memaksa untuk hubungan badan agar mendapatkan keturunan
wanita lagi. Namun bila bayi yang lahir pria maka akan dibunuh. Ketika
saya katakan bahwa kemungkinan hal tersebut hanyalah cerita belaka,
dengan penuh keyakinan warga Kasonaweja tersebut membantah dan
mengatakan bahwa suku tersebut benar-benar ada.
Cerita lain yang tidak kalah menariknya adalah buaya-buaya S.
Mamberamo yang populasinya terbesar di Papua. Menurut Pak Hamzah, mantan
pemburu buaya yang berasal dari Sulawesi dan sudah berkeliaran di Papua
sejak tahun 1967 mengatakan bahwa buaya-buaya akan banyak keluar dari
sarangnya pada malam hari sehingga perburuan buaya banyak dilakukan pada
malam hari dengan menggunakan perahu dan tombak. Setelah dikuliti,
kulitnya dibawa ke Jayapura untuk dijual. “Dulu orang Mamberamo belum
pakai baju semua,” demikian tuturnya pada kami. Perburuan buaya sekarang
memang sudah dihentikan karena harga kulitnya yang jatuh dan ekspor ke
luar negeri dihentikan.
Kayu bakar, bangku sekolah
Karena
selama survai tinggal di Kasonaweja, wajar saja kalau desa ini yang
paling kami kenal. Seperti pada umumnya desa-desa yang terisolir di
Papua, maka Kasonaweja juga memiliki problem yang sama dalam hal
transportasi dan akses.
Sebagai ibukota kecamatan Mamberamo Tengah, Kasonaweja memiliki
sarana pendidikan berupa SD dan SMP. Jika diperhatikan dari luar gedung
SMTP-nya tampak bagus, bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan gedung
SMTP yang ada di daerah pedalaman Jawa karena dibangun dari kayu-kayu
yang berkualitas baik. Namun jika ditengok lebih jauh kondisi kegiatan
akademiknya, baik SD maupun SMTP-nya ternyata sangat memprihatinkan.
Problem yang sampai kini masih mengganggu kelancaran kegiatan belajar
mengajar adalah langkanya guru pengajar. Kalau ada satu atau dua,
mereka harus merangkap beberapa mata pelajaran sekaligus. Hal ini
disebabkan oleh permasalahan transportasi dan akses yang sulit. Beberapa
guru yang cuti ke Jayapura pada akhir semesteran seringkali terlambat
masuk selama berminggu-minggu dengan alasan kesulitan transportasi
padahal para muridnya rajin masuk sekolah setiap hari. Kasihan para
murid yang datang jauh-jauh dari kampung lain dengan menggunakan perahu,
seringkali terlantar.
Kondisi SD-nya lebih memprihatinkan lagi karena beberapa di antaranya
tidak memiliki kursi dan bangku untuk belajar, sehingga para murid
terpaksa harus belajar di lantai. Tidak jelas mengapa sampai tidak ada
meja dan kursi. Menurut seorang warga, dulu barang-barang tersebut
banyak diambil orang untuk kayu bakar dan keperluan lainnya.
Permasalahan kesehatan di Kasonaweja ternyata juga amat perlu
mendapatkan perhatian pemerintah. Jika menengok kondisi Puskesmas
sepertinya tidak ada kehidupan karena mantrinya tidak selalu berada di
tempat. Akibatnya, seringkali warga yang sakit datang kepada kami.
Kebetulan kami mempunyai seorang paramedik beserta obat-obatan yang
cukup memadai. Entah bagaimana nasib kampung-kampung lain yang terletak
jauh di pedalaman!
Namun
saat perayaan HUT RI ke-51 di Kasonaweja berlangsung sangat meriah,
sama meriahnya dengan di tempat-tempat lain di Indonesia. Banyak warga
dari desa lain di Kecamatan Mamberamo Tengah datang ke Kasonaweja untuk
mengikuti perayaan tersebut, mulai dari upacara bendera, pertandingan
olahraga hingga pagelaran kesenian yang berasal dari suku-suku setempat.
Kebetulan kami turut diundang dan sempat mencicipi hidangan daging
burung Kasuari dan Papeda yang terbuat dari sagu.
Tiga bulan di seputar kawasan Mamberamo memberikan gambaran
tersendiri. Semoga harapan untuk memecahkan keterisolasian kawasan
tersebut cepat terealisasi karena kabarnya Mamberamo sedang direncanakan
untuk dijadikan salah satu kawasan penggerak ekonomi di Indonesia
Timur. Menurut Camat Mamberamo Tengah, BPPT kini tengah mengkaji
kemungkinan untuk membangun PLTA dengan memanfaatkan air sungai
Mamberamo dan pembangunan landasan pesawat terbang yang lebih besar.
Yang perlu diingat, membangun Papua bukan pekerjaan mudah. Dalam satu
artikel menarik tentang Papua karangan Thomas O’Neill yang dimuat dalam
majalah National Geographic edisi Februari 1996 menyebutkan bahwa Papua
sebagai “… one of the wildest, most isolated frontiers on earth“. Oleh
karenanya tidaklah heran jika pembangunan daerah tersebut membutuhkan
dana yang sangat besar, perencanaan yang matang serta dedikasi yang
tinggi. Lebih bagus lagi apabila putra daerah dapat berperan besar untuk
dapat membangun wilayahnya sendiri. (R.I. Rafianto)
_________________________________
Sumber: http://klipingut.wordpress.com
Penulis Aricle: R.I. Rafianto
0 komentar