Perusahaan
pertambangan emas terbesar di dunia, Freeport McMoran Copper & Gold
Inc dengan anak perusahaan diantaranya PT Freeport Indonesia (PTFI),
ternyata sejak 1991 secara resmi menguasai dua gunung emas, yakni Gunung
emas Ersberg dan Grasberg, semuanya di Kabupaten Mimika, Propinsi
Papua. Padahal sejak 1967, dimana pertama kali ditandatanggani
perjanjian kontrak karya antara rezim Orde Baru dengan Freeport,
perusahann pertambangan emas milik AS itu hanya menguasai Gunug emas
Ersberg saja. Namun hasil dari kedua gunung emas itu tidak hanya emas
saja tetapi ada hasil sampingan lain yang tidak kalah berharganya
seperti tembaga, perak bahkan uranium.
Kepada Suara Islam Online seusai
pembukaan Jakarta Investasi Forum 2010 di Balai Kartini Jakarta (30/9),
Kepala BKPM Propinsi Papua, Purnomo mengakui perjanjian kontrak karya
yang dibuat pemerintah Indonesia dengan PT Freeport tahun 1991 lalu
sebenarnya bukan perjanjian untuk memperpanjang masa kontrak karya
selama 30 tahun sejak 1967 yang akan berakhir pada 1997 untuk
mengeksplorasi emas di Gunung Ersberg, tetapi perjanjian kontrak karya
baru untuk mengeksplorasi emas di Gunung Grasberg, dekat Ersberg.
“Pada tahun 1991 dibuat lagi
perjanjian antara pemerintah Pusat dengan PT Freeport Indonesia. Tetapi
sebetulnya itu bukan perjanjian untuk memperpanjang kontrak karya
pertambangan emas di Gunung Ersbers yang akan segera berakhir, tetapi
sesungguhnya perjanjian pertambangan baru untuk mengeksplorasi emas di
Gunung Garsberg,” ungkapnya.
Mengenai
bagi hasil untuk pemerintah Indonesia sangat kecil hanya 1 persen
sedangkan yang 99 persen milik Freeport, Purnomo mengakui itu bukan
kesalahan Freeport, sebab perjanjiannya memang demikian. Kalau bagian
pemerintah ingin dinaikkan, ya harus merubah perjanjian terlebih dahulu.
Namun diakuinya, memang terjadi
ketidakadilan oleh Freeport yang telah berubah menjadi perusahaan
raksasa pertambangan emas terkaya sekaligus terbesar di dunia, dimana
sahamnya diperjualbelikan di New York Stock Exchange (NYSE). Sebab
penduduk Papua sendiri ternyata hingga sekarang masih dililit kemiskinan
dan hanya menyaksikan gemerlapan Freeport yang mengeruk kekayaan emas
mereka untuk diboyong ke AS dan membuat negara penjajah Afghanistan dan
Irak itu menjadi kaya raya.
Padahal sejak 1967, Freeport hanya
memiliki hak izin pertambangan seluas 30 Km persegi. Namun sejak 1989,
diperluas menjadi 25.000 Km persegi dengan hak penambangan eksklusif
selama 30 tahun dan dapat diperpanjang. Hingga kini pemerintah Indonesia
hanya mendapatkan pemasukan pajak dari Freeport sebesar Rp 30 miliar
pertahun, sedangkan pembagian hasilnya hanya 1 persen dan sisanya milik
Freeport. Sedangkan Freeport sendiri tidak ikut bertanggungjawab atas
kerusakan lingkungan hidup termasuk pembuangan jutaan ton tailing
(limbah tambang emas) di berbagai sungai di Mimika, sebagai dampak dari
proyek pertambangan emas, perak, tembaga bahkan ditengarai juga
menghasilkan uranium tersebut. Namun hingga sekarang PT Freeport
Indonesia belum mengakui kalau secara diam-diam juga menambang uranium
dari Papua. [KbrNet/SuaraIs]
0 komentar